[BOOK REVIEW] Jangan Ambil Anakku! by John F. Crowley dan Ken Kurson
Judul : Jangan Ambil Anakku!
No. ISBN : 978-602-8811-41-5
Penulis : John F. Crowley dan Ken
Kurson
Penerjemah : Nadya Andwiani
Penerbit : Bentang Pustaka
Jumlah Halaman : 252
Kategori : Nonfiksi
Blurb:
J.
F. Crowley tak ingin menunggu keajaiban muncul dari hasil
penelitian para ilmuwan yang menurutnya lambat. Di tengah kesuksesan yang
diraihnya, ia keluar dari perusahaan besar dan memutuskan untuk bermitra dengan
perusahaan bioteknologi kecil yang memfokuskan penelitian pada pengembangan
pengobatan pompe. Sebuah penyakit yang disebabkan oleh kelainan genetika
langka dan menyebabkan penderitanya mengalami gangguan pernapasan, kelemahan
otot, pembengkakan hati, bahkan cacat jantung.
Pengorbanan
Crowley bermula ketika dokter dan peneliti di seluruh dunia yang telah
dihubunginya, tak satu pun dapat memberikan informasi detail mengenai penyakit
yang perlahan mulai merusak sistem tubuh kedua anaknya itu. Seorang ahli saraf
di Oakland, menyatakan bahwa kedua anaknya, Megan (15 bulan) dan Patrick (7
hari) tidak akan bertahan hidup melewati awal masa kanak-kanaknya. Mereka akan
gagal tumbuh, tidak akan pernah bisa berjalan, dan akan selalu bergantung pada
ventilator.
Mereka
memahami perjalanan untuk mengalahkan penyakit pompe, sebagai sebuah kehidupan
yang dipenuhi kekuatan, harapan, dan sukacita. Sebab, mereka tidak pernah
menunggu keajaiban datang, melainkan selalu berusaha menciptakan keajaiban itu!
***
Jangan ikuti ke mana pun alur jalan menuju,
alih-alih pergilah di mana tak ada jalan setapak pun dan tinggalkanlah jejak.
—Ralph Waldo Emerson.
Kilas Balik Cerita
Halo!
Sebelum masuk ke reviewnya, aku mau cerita sedikit dulu nih, tentang bagaimana
aku dipertemukan oleh buku “Jangan Ambil Anakku!” ini. Yup, buku ini aku
dapatkan dari hasil perburuanku—sebenarnya ayahku, sih—di acara Big Bad Wolf
Books Jakarta tahun 2018. Setelah dua tahun berlalu, aku baru membaca
bukunya, bahkan baru membuka segel plastiknya. Walaupun di BBW mostly
yang dijual adalah buku impor, di sana juga ada buku-buku berbahasa Indonesia
yang diterbitkan oleh Mizan. Rata-rata bukunya terbitan lama gitu sih, yang
sepertinya sudah tidak diproduksi lagi. Nah, biasanya di tumpukan-tumpukan buku
lama tersebut, banyak terselip buku-buku lama yang bagus.
Sebenarnya,
aku sudah ingin membaca buku ini sejak lama. Sinopsisnya lumayan bikin aku
penasaran, apalagi ini merupakan cerita nonfiksi yang berdasarkan kisah nyata. Sebuah
kisah pengorbanan dan perjuangan John Crowley bersama istrinya untuk bisa
menemukan pengobatan terbaik bagi kedua anaknya yang mengidap penyakit pompe.
Mari kita mulai bahas tentang isi bukunya ini~
Kita semua adalah makhluk yang istimewa dalam cara yang tersendiri.—halaman 42.
Rasa-Rasa Saat Baca
Buku
JAA ini diterjemahkan dari judul aslinya Chasing Miracles: The Crowley Family
Journey of Strength, Hope, and Joy. Cukup jauh ya dengan judul terjemahannya?
Aku juga sedikit bingung, mengapa tidak memakai judul aslinya saja. Anyway,
buku JAA merupakan karya kolaborasi yang ditulis John F. Crowley dengan Ken
Kurson. Oiya, ternyata buku ini telah dituangkan ke dalam bentuk film, lho! Judul
filmnya Extraordinary Measures. Aha, I’ll watch it as soon as
possible!
sumber: amazon.com |
sumber: amazon.com |
Seperti
judul aslinya, buku ini terbagi menjadi tiga bagian cerita. Bagian pertama dibuka
dengan bahasan tentang harapan, bagian kedua membahas tentang kekuatan, dan
bagian ketiga sebagai penutup membahas tentang sukacita. Sebelum memasuki bagian
pertama, buku ini dibuka dengan kata pengantar dari John Crowley dan istrinya. Di
bagian pengantar ini, ada kalimat yang aku suka dari Aileen Crowley:
Setiap anak telah menempuh jalan yang berbeda-beda, di mana setiap jalan ditandai oleh kepribadian, kekuatan, kelemahan, dan impian mereka masing-masing.
sumber: dreamstime.com |
Entah
mengapa, kalimat di atas terasa sangat menyentuh bagiku. Menjadi sebuah pengingat
lagi bagiku bahwa setiap orang termasuk anak-anak punya jalannya masing-masing.
Kita tidak bisa memaksakan jalan yang akan ditempuhnya, kita hanya bisa mencoba
mengarahkan, mengiringinya sembari memberi masukan-masukan berupa nasihat yang
baik. Sepenuhnya, anak-anak itu memiliki pilihan jalannya masing-masing. Saat selesai
membaca kata pengantar, aku sedikit-banyak berharap pada buku ini. Berharap isinya
akan memberikan pelajaran, hikmah, dan manfaat bagiku yang membacanya.
Pikirkan semua hal yang kau dapatkan dan jalani setiap hari seakan-akan itu hari terakhirmu untuk hidup. Berhentilah mengasihani diri sendiri. Itu mudah diatasi. Hidup terlalu indah. Satu hari pada setiap waktu. Lalu, dengan karunia Tuhan, berdoalah demi orang lain.—halaman 52.
sumber: pngtree.com |
Jujur,
waktu di halaman-halaman awal aku bisa menikmati bukunya. Tapi, semakin ke halaman
belakang, aku agak kesulitan untuk menikmati bacaannya. Alasannya? Pertama, banyak
sekali kesalahan ketik. Tidak hanya sekadar salah ketik, kadang juga tata
letaknya nggak rapi, alias satu kalimat nggak ber-spasi. Kemudian, aku merasa
kurang cocok dengan gaya penceritaan di buku ini. Menurutku, banyak sekali
cerita yang terlalu luas cakupannya, sehingga terkesan bertele-tele. Sehingga rasa-rasa
yang kudapatkan setelah selesai membaca ini tidak ada sensasi naik-turunnya.
Beberapa bagian memang ada yang membuatku terharu, sedih, berdecak kagum,
tetapi secara keseluruhan ‘feel’ nano-nanonya tuh ya biasa-biasa saja. Aku kurang
bisa menikmati buku ini bisa jadi juga karena aku yang tidak terlalu cocok
dengan gaya bahasa terjemahannya. Gaya bahasa terjemahannya menurutku memang masih kurang luwes.
Pada akhirnya, kami pun belajar bahwa membiarkan orang lain untuk menolong tidak berarti mereka hanya menolong kami. Kadang-kadang, hal itu juga menolong mereka.—halaman 75.
Serap Makna
Meski
‘feeling’nya dirasa kurang dapat, secara keseluruhan buku ini tetap
memberikan banyak pelajaran bagiku. Terutama pengetahuan tentang penyakit pompe,
dan berbagai macam jenis usaha farmasi dan pengobatan dokter. Bagaimana cara agar pengembangan untuk pengobatan penyakit langka bisa ditemukan. Ah, cukup banyaklah makna kehidupan
yang bisa diambil dari buku ini.
Suatu pernikahan itu artinya: kau memiliki tanggung jawab lebih besar dalam melihat dan menjalani berbagai perspektif masalah yang datang, dibandingkan bila kau berpendapat sebagai seorang individu yang belum menikah.—halaman 108.
Buku
JAA memaparkan kisah perjuangan Megan dan Patrick Crowley dalam melawan penyakit
pompe yang diderita dengan cukup detail. Tentang bagaimana Megan dan Patrick harus berhadapan
dengan berbagai macam perawatan. Tentang bagaimana keluarga Crowley melewati
semua badai kehidupan yang menerjang mereka. Intinya aku bisa belajar banyak tentang
kekuatan, harapan dan sukacita dari keluarga Crowley ini.
"Hidup ini dimaksudkan untuk dihabiskan bukan untuk disimpan."—halaman 213.
Sekian
dulu cuap-cuap dariku, sampai jumpa di cuap-cuap buku lainnya!
Salam literasi!
Comments
Post a Comment