[BOOK REVIEW] Sabtu Bersama Bapak by Adhitya Mulya

Judul : Sabtu Bersama Bapak
No. ISBN : 978-979-780-721-4
Penulis : Adhitya Mulya
Penerbit : Gagas Media
Kategori : Fiksi, Drama, Semua umur



Blurb:

Video mulai berputar.

“Hai, Satya! Hai, Cakra!” Sang Bapak melambaikan tangan.
“Ini bapak.
Iya, benar kok, ini Bapak.
Bapak cuma pindah ke tempat lain. Gak sakit. Alhamdulillah,
berkat doa Satya dan Cakra.

Mungkin Bapak tidak dapat duduk dan bermain di samping kalian.
Tapi, Bapak tetap ingin kalian tumbuh dengan Bapak di samping kalian.
Ingin tetap dapat bercerita kepada kalian.
Ingin tetap dapat mengajarkan kalian.
Bapak sudah siapkan.

Ketika kalian punya pertanyaan, kalian tidak pernah perlu bingung
ke mana harus mencari jawaban.
I don’t let death take these, away from us.
I don’t give death, a chance.

Bapak ada disini. Di samping kalian.
Bapak sayang kalian.”
----

Ini adalah sebuah cerita. Tentang seorang pemuda yang belajar mencari cinta. Tentang seorang pria yang belajar menjadi bapak dan suami yang baik. Tentang seorang ibu yang membesarkan mereka dengan penuh kasih. Dan…, tentang seorang bapak yang meninggalkan pesan dan berjanji selalu ada bersama mereka.

 ~~~

Review
Sebelum membaca novelnya, aku mengira mas Adhitya Mulya akan menitikberatkan cerita pada saat sakitnya sang Bapak. Yang mana jika jalan ceritanya seperti itu sudah sangat mainstream. Ternyata oh ternyata, ceritanya lebih ditekankan pada masa pasca meninggalnya sang bapak. Dan banyak sekali hal-hal yang out of my mind (tidak terbayangkan olehku sebelumnya) yang digambarkan dalam novel ini. Thumbs up for mas Adhitya Mulya. Cerdik sekali.

 Gunawan Garnida—tokoh Bapak dalam novel Sabtu Bersama Bapak—adalah sosok bapak yang menurutku patut diteladani kebijaksanaannya oleh para bapak yang ada di dunia ini. Gunawan juga bisa dijadikan contoh—bagi  para suami dan para calon suami—sebagai suami yang sangat bertanggung jawab akan kehidupan keluarganya. Kasih sayangnya terhadap keluarganya benar-benar melampaui batas yang tidak pernah terbatas.

Yap, siapa yang pernah berpikir untuk merekam video tentang kehidupan ini bagi anak-anaknya? Terlebih lagi, setelah divonis penyakit keras dan diberi perkiraan tentang hari kematiannya, siapa ya? Kupikir, mungkin ada yang selintas terpikirkan. Tetapi, lebih banyak lagi yang tidak terpikirkan akan hal tersebut sama sekali. Kalau sakit keras pasti kebanyakan hanya akan fokus terhadap penyakitnya dan dirinya sendiri. Sembari berpikir keras bagaimana membayar biaya perawatan selama di rumah sakit? Berapa kira-kira biaya yang harus dikeluarkan keluarga saya untuk pemakaman saya nanti? Berapa besar nominal utang yang belum saya bayar? Apakah amal saya sudah cukup? Dan disuguhi pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan akhir dari kehidupan. Maka sekali lagi, saya acungkan jempol untuk penulisnya, mas Adhitya, yang sudah mengekspresikan idenya ke dalam novel ini.

Dari halaman pertama, aku sudah girang sendiri membaca novel Sabtu Bersama Bapak. Karena aku benar-benar memberikan ekspektasi yang cukup tinggi, dan alhamdulillahnya terbayar dengan lunas. Gimana nggak girang? Novel ini menyuguhkan banyak unsur komedi di dalamnya. Lagipula yang dijadikan objeknya si Cakra, tokoh favoritku dalam novel ini. Ya, novel ini menceritakan tentang perjalanan Cakra dalam mencari cinta. Cakra ini sering pakai bangeeeeeet digodain lantaran nggak nikah-nikah. Memang sih, pernikahan itu bukan perkara main-main dan dibutuhkan kesiapan yang matang untuk menjalaninya. And guess what? Cakra sudah membuat planning untuk hidupnya dari jauh-jauh hari yang mana terinspirasi dari bapaknya. And the last plan before getting married, sudah berhasil Cakra lampaui. Jadi, tinggal menikah deh. Makanya doi digodain terus sama teman-temannya juga mamahnya yang kepengin anak bungsunya segera memiliki pasangan hidup. Tapi ya itu… nyari pasangan hidup nggak semudah membalikkan telapak tangan ya, guys!


“Ka, istri yang baik gak akan keberatan diajak melarat.”

“Tapi Mah, suami yang baik tidak akan tega mengajak istrinya untuk melarat.” —Sabtu Bersama Bapak, halaman 17


Lalu, ada Satya—kakak kandung Cakra. Btw, Satya di deskripsikan sebagai laki-laki yang adorable banget loh hihihi. Walaupun Satya termasuk tipe lelaki yang adorable, ia juga mempunyai kelemahan dan kekurangan. Satya orangnya cukup keras dan tidak sabaran. Bahkan Ryan dan Miku—buah hati Satya dan Rissa—merasa segan dengan Satya. Novel Sabtu Bersama Bapak menceritakan tentang perjalanan Satya dalam belajar menjadi bapak dan suami yang baik. Konfliknya seru dan membuatku turut emosi. Karena berkaitan dengan permasalahan rumah tangga Satya dan Rissa.

Dan terakhir, ada ibu Itje Garnida. Sosok ibu yang kuat, sabar juga penyayang. Pantas saja, anak-anaknya tumbuh menjadi anak yang hebat dan berkualitas. Ternyata mereka lahir dari rahim seorang ibu yang sangat hebat. Ibu Itje membesarkan mereka dengan penuh cinta dan kasih. Ibu Itje, walaupun harus berjuang sendiri selepas kepergian suaminya, ia tetap kuat dan sabar.

Seperti yang sudah aku jabarkan diatas, tokoh dan karakter penokohan dalam novel Sabtu Bersama Bapak sangat kuat hingga terasa nyata. Tidak hanya tokoh-tokoh utama, tokoh pendukungnya pun di deskripsikan dengan cukup baik. Patut diberi jempol lagi! Meski novel ini merupakan fiksi, bukan berarti novel ini tidak mengedukasi. Malahan sangat mengedukasi juga menginspirasi. Novel ini cocok untuk dibaca semua kalangan. Terutama—bagiku untuk—para lelaki yang akan menjadi suami juga bapak.

Gaya bahasa yang dipakai juga mudah untuk dipahami, nggak muluk-muluk, terlebih lagi teh banyak basa sunda yang diselipkan. Jadi berasa nuansa Indonesianya banget gitu. Dialognya juga jelas dan tidak membingungkan. Yang ada bikin cengengesan mulu, karena lucu.

Banyak banget nilai moral juga nilai sosial yang bisa didapatkan dari cerita di dalam novel Sabtu Bersama Bapak. Bahkan novel ini mengubah persepsiku tentang “mimpi”.


“Mimpi hanya baik jika kita melakukan planning untuk merealisasikan mimpi itu. Jika tidak, kalian hanya akan buang waktu.”—Sabtu Bersama Bapak, halaman 150.

“Bapak minta kalian bermimpi setinggi mungkin. Tapi mimpi tanpa rencana dan action, hanya akan membuat anak istri kalian lapar.”—Sabtu Bersama Bapak, halaman 151.


Selain mengubah persepsi aku tentang mimpi, novel ini juga menampar aku dengan nilai kesederhanaan yang dicontohkan oleh tokoh bapak. Bahwa hidup ini bukan sekadar mengejar nilai materi.


“Harga diri kita tidak datang dari barang yang kita pakai. Tidak datang dari barang yang kita punya. Harga diri kita, datang dari akhlak kita.”—Sabtu Bersama Bapak, halaman 119-120.

“Harga dari diri kamu datang dari dalam hati kamu dan berdampak ke orang luar. Bukan dari barang/orang luar berdampak ke dalam hati.”—Sabtu Bersama Bapak, hal 120.


Dan terakhir, memberikanku pencerahan tentang jodoh dan hakekat pernikahan.


“Membangun sebuah hubungan itu butuh dua orang yang solid. Yang sama-sama kuat. Bukan yang saling ngisi kelemahan, Yu.”—Sabtu Bersama Bapak, halaman 217.

“Padahal setiap orang sebenarnya wajib menguatkan agama. Terlepas dari siapa pun jodohnya.”—Sabtu Bersama Bapak, halaman 217.

“Suami-Suami yang memperlakukan istri mereka seperti barang, adalah suami yang zolim.”—Sabtu Bersama Bapak, halaman 225.


Hatur nuhun, mas Adhitya, novelnya sangat menginspirasi aku untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi kedepannya. Dan, mengingatkanku untuk bersyukur atas kehadiran keluargaku. Hmmm, untuk kategori novel ringan, aku kasih 5 bintang deh buat novel Sabtu Bersama Bapak! Sok atuh, yang belum baca, hayo diburu! Highly recommended, guys :D

 ~~~

NOTE (the struggles):
AKHIRNYA! Ya, akhirnya buku ini bisa ku beli dan ku baca juga. Alhamdulillah. Setelah mengarungi lautan, melewati lembah serta pegunungan, dan menetap di Pamulang, akhirnya Sabtu Bersama Bapak edisi cover lama berhasil kudapatkan. Yah, lumayan berat juga perjuangannya, ini detailnya akan aku jabarkan;

Awalnya cuma mau pinjam dari perpustakaan sekolah aja, eh, bukunya keburu lenyap duluan dipinjam yang lain dan sepertinya ngga dibalik-balikin tuh. Karena tiap aku nongol ke perpustakaan dan nanya kabar buku Sabtu Bersama Bapak, katanya masih dipinjam. Yak sekale. Akhirnya aku berhenti menunggu. Lagian pada saat itu Sabtu Bersama Bapak baru cetak ulang, tapi sayang… cover film. Ya maklum sih, pada saat itu filmnya baru rilis. Tapi aku kekeh mau yang cover lama! Bukannya aku nggak suka sama yang cover film, tapi aku lebih prefer ke cover lamanya. Aku suka banget cover lamanya. Karena warna yang mendominasi adalah salah satu warna favoritku, biru. Terus gambar CD (bukan celana dalam) dan karakternya lucu banget. Apalagi Cakranya :3

Aku terus berusaha mencari yang cover lamanya, dan ketemu toko buku online yang masih jual. Pas sudah transfer, dapat pemberitahuan bakal di refund karena ternyata stoknya habis dan di gudang penerbitnya baru mau cetak ulang. Yak terimakasihJ akhirnya sempat berhenti mencari dan kekeh nggak mau nonton filmnya sebelum baca novelnya. Sampai di hari terakhir jadwal tayang Sabtu Bersama Bapak di bioskop terdekat, aku belum baca novelnya juga. Yah, agak-agak sedih dan menyesal gimana gitu. Tapi sabodo teuing, yang penting novel cover lamanya harus kebeli!

Finally—setelah sekian lama—ketemu jodoh (re: Sabtu Bersama Bapak cover lama) di toko buku baru yang lagi ngasih diskon gede-gedean. Wuidih, memang sabar tuh mesti ya. Mesti banget. Karena buah dari kesabaran itu manisnya super duper manis! Sekian curcolnya. Anyway, terima kasih banyak yang telah membaca reviewku sampai curhatan ini. Semoga bermanfaat!

Comments

Popular posts from this blog

[BOOK REVIEW] Secangkir Kopi dan Pencakar Langit by Aqessa Aninda

[BOOK REVIEW] Nais Tu Mit Yu by Dina Mardiana

[BOOK REVIEW] Tentang Kamu by Tere Liye