Kutipan Cerita dari Seorang Ayah di Palestina

Di sebuah halte bus di wilayah Jabaliya, wajah-wajah khas Arab beralis tebal berjajar dalam sebuah lembaran poster kecil yang ditempel di papan dekat kursi tunggu. Sebagian besar lembaran kertas itu sudah lusuh karena air hujan yang mengering. Aksara Arab dituliskan di bawah foto, nama pemilik wajah di atasnya. Bukan, mereka bukan calon kepala daerah yang sedang mencitrakan diri, bukan juga orang-orang yang hilang karena perang. Mereka adalah orang-orang Jabaliya yang wafat ketika terjadi serangan oleh Israel.

Seorang lelaki dengan jenggot setengah putih dengan antusias menunjukkan foto-foto dari dalam dompetnya kepada suamiku, dr. Basuki. Foto-foto anaknya yang syahid saat Israel membom Gaza City beberapa waktu yang lalu. Ini aneh, ujarku dalam hati. Heran benar orang-orang Palestina ini. Terbuat dari apakah jiwa mereka? Wajahnya berseri-seri saat menceritakan tentang anaknya yang telah wafat. Sama sekali tidak ada rasa sedih dalam kilau matanya. Yang ada hanya kebanggaan dan keyakinan yang begitu tinggi. Bahwa mereka yang wafat adalah pembakar semangat mereka, bukan malah pelemah jiwa.


"Kami sedang berada di sebuah gedung. Aku harus keluar gedung itu untuk mencari toilet. Saat itulah Israel menjatuhkan bom tepat di atas gedung tempat anakku sedang berada didalamnya." Ia berkata sambil tersenyum.
"Apa yang kau rasakan?" tanya dr. Basuki
"Aku menyesal." ia menjawab singkat,
"Tentu saja semua orang sedih bila kehilangan anaknya," lirih dr. Basuki.
"Tidak. Aku menyesal karena aku tidak berada di gedung itu dan syahid bersama anakku," ujarnya singkat. 


Sorot matanya menampakkan rasa bangga yang tidak dapat ditutupi.Sejenak aku dan dr. Basuki berpandangan, bingung ingin bersimpati atau apa. Tetapi, lelaki itu tertawa kecil. Akhirnya kami pun memaksakan diri untuk tersenyum kepadanya.


Sepanjang masa penjajahan Israel, tak terhitung gempuran yang acap dilancarkan agresor itu terhadap warga sipil. Acap kali terjadi serangan berskala besar, sebagaimana yang tejadi pada tahun 2009 yang lalu. Tercatat belasan ribu orang gugur karenanya.Mereka bukannya tidak menangis dan berduka. Tangis tetap menjadi penawar rasa cinta mereka kepada sanak-saudara. Namun yang paling tampak kemudian adalah rasa bangga dan juga hormat. Para ibu dan ayah bangga terhadap anaknya yang berjuang membela tanah air, atau sebaliknya anak bangga terhadap ayahnya yang telah wafat demi mempertahankan sejengkal tanah Palestina. Demikian pula istri terhadap suaminya, dan suami terhadap istrinya.Hampir semua orang Gaza City yang aku temui terlihat antusias dan bangga saat menunjukkan foto-foto para syuhada dan peristiwa yang mereka rekam pada handphone mereka. Mereka bahagia bisa turut mempertahankan negranya. Wafat dalam syahid adalah cita-cita tertinggi mereka.




Cerita ini dikutip dari buku "Membalut Luka Gaza" karya Prita Kusumaningsih.

Comments

Popular posts from this blog

[BOOK REVIEW] Secangkir Kopi dan Pencakar Langit by Aqessa Aninda

[BOOK REVIEW] Nais Tu Mit Yu by Dina Mardiana

[BOOK REVIEW] Tentang Kamu by Tere Liye