[BOOK REVIEW] One by Sarah Crossan
Judul : One
No. ISBN : 978-602-60443-1-0
Penulis : Sarah Crossan
Penerjemah: Airien Kusumawardani
Penyunting: Prisca Primasari
Penerbit : Spring
Jumlah Halaman : 416 hlm
Kategori : YA, Contemporary, Poetry, Realistic Fiction
![]() |
captured by me |
Blurb:
Dua saudari. Dua hati. Dua mimpi. Dua kehidupan.
Satu tubuh.
Grace
dan Tippi adalah kembar siam,
tubuh
mereka menyatu dari pinggang ke bawah.
Mereka
mengalahkan takdir dengan terus hidup
sampai
berumur enam belas tahun
Mereka
membagi segalanya satu sama lain,
tidak
bisa membayangkan untuk berpisah.
Bagi
mereka, berpisah adalah sebuah tragedi.
Namun,
sesuatu terjadi pada mereka.
Sesuatu
yang tidak pernah mereka bayangkan
sebelumnya….
Lucu sekali kan mendengar apa yang orang lain cemaskan ketika hidup mereka berjalan dengan sangat mulus?—halaman 297.
Kilas Balik Cerita
Novel One ini mengisahkan tentang sepasang kembar
siam yang bernama Grace dan Tippi. Well, di review kali ini aku nggak akan
bahas panjang-panjang seperti biasanya. Karena novel One ini menggunakan gaya
penulisan yang berbeda, yaitu dengan menggunakan verse (seperti syair, puisi, dan sejenisnya). Jika terlalu banyak pembahasan takutnya bisa jadi
spoiler. Jadi, karena novelnya singkat, aku pun akan menuliskan review yang
singkat juga. Untuk review One, aku tidak akan mengupas satu-satu dari plotnya,
konfliknya, dan sebagainya. Aku hanya mereview secara garis besarnya saja dan
sharing tentang bagaimana perasaanku begitu terkoyak ketika membaca buku ini.
Sebenarnya arah cerita—bahkan ending novel One ini
sudah bisa ditebak oleh pembaca dari cover depannya dan sinopsis di cover
belakangnya. Tapi menurutku, ketika pembaca memulai membaca buku ini, pembaca
akan langsung tenggelam ke dalam ceritanya. Dan tidak akan peduli dengan apa
pun yang telah ditebak tentang cerita yang ada di novel ini.
Di mana kami bisa menemukan teman? –halaman 65.
Awalnya, aku nggak berekspektasi tinggi sih dengan
novel One. Sempat ragu juga, karena novel ini ditulis hanya dari sudut pandang
Grace. Kupikir akan timpang jika hanya satu sudut pandang yang dipakai dalam
cerita sepasang kembar siam. Ternyata oh ternyata, cerita dari satu sudut
pandang pun sudah berhasil membuatku kewalahan. Kewalahan akan kegundahan serta
kesedihan yang tergambar sejak halaman pertama novel One. Walaupun sudah banyak
lihat review yang bagus tentang novel One dari teman-teman penggemar novel, aku
nggak berani menaruh ekspektasi yang terlalu tinggi. Karena seringkali ketika
sebuah buku dicap sebagai buku “tersedih”, “terbaper”, “terdramatis, dan
“ter-ter” lainnya, aku malah punya pendapat lain dan cenderung tidak menyukai
bukunya. Namun, untuk novel One ini, aku setuju banget sama review dari
teman-teman pembaca lainnya yang mengatakan bahwa novel One ini sedihnya
benar-benar “deep” banget.
Bintang mengingatkanku bahwa semesta lebih besar dariku.—halaman 163.
Deepnya seperti apa sih?
Deep = Dalam. Jadi, sedihnya benar-benar dalam
banget hingga menusuk relung hatiku (ea lebay), eh tapi serius… memang novelnya
sesedih itu. Sedihnya bukan sekadar yang bikin baper, mewek, terus baca ulang
bagian bapernya, NGGAK! Sedihnya tuh yang membuat kita baper, mewek, menganga,
dan tertampar! Yang membuat nangis tapi bukan nangis kejer-teriak, tapi nangis
yang cuma meneteskan air mata, tapi terasa sesak banget di dada. Istilah zaman
now-nya, “sakit tapi nggak berdarah!” NAH! Seolah-olah pembaca dibuat seperti
habis tersakiti hatinya, padahal mah gara-gara baca novel aja.
“Kebencian lebih baik daripada simpati.”—halaman 94.
Selain masalah sedih-sedihnya, novel ini juga cukup
menyentilku dan membuatku berpikir. Berpikir apa? Yaaah, aku memikirkan segala
hal yang terjadi di dalam kehidupan ini. Tentang bagaimana kita tidak boleh
menyia-nyiakan waktu yang kita miliki selama kita hidup. Tentang bagaimana kita
harus bersikap terhadap orang-orang yang menyayangi kita dengan tulus. Tentang
bagaimana kita harus lebih sering bersyukur dibanding mengeluh. Tentang
bagaimana kita harus lebih menghargai seseorang dalam keadaan apapun. Tentang
bagaimana kita harus lebih mengenal dan memahami keadaan lingkungan sekitar
kita. Dan sekali lagi mengingatkanku bahwa hidup ini akan terus berjalan dan
hidup ini selamanya akan berkisar dengan perjuangan.

tanganku "laki" banget ya haha :))
“Sekolah adalah hari-hari terbaik dalam hidup kalian, anak-anak.”—halaman 21.

Aku sempat
mengira, jangan-jangan novel ini ditulis berdasarkan kisah nyata. Tetapi
ternyata kisah ini merupakan kisah fiksi yang sebagian besar ceritanya
didasarkan pada kehidupan nyata kembar siam yang ada di dunia ini. Yaampun.
Hatiku benar-benar tercelus. Jarang banget kan ada novel yang mengangkat kisah
kembar siam. Salut banget sama riset yang dilakukan oleh Sarah Crossan ini :’)
Like what I said before, reviewku nggak akan
panjang-panjang. Jadi kesimpulannya, novel One sangat singkat dan memikat.
Benar-benar berhasil untuk memainkan emosi pembacanya. Aku sangat
merekomendasikannya untuk teman-teman pembaca. Selamat membaca, dan, ah, jangan lupa sediakan tisu ya! :)
Comments
Post a Comment