[BOOK REVIEW] We Were Liars by E. Lockhart
Judul : We
Were Liars
No. ISBN
: 978-602-03-0671-1
Penulis :
E. Lockhart
Penerjemah:
Nina Andiana
Desain
Sampul: Martin Dima
Penerbit
: PT Gramedia Pustaka Utama
Jumlah Halaman : 296 hlm
Kategori
: YA-Contemporary, Mystery, Romance
Blurb:
Keluarga yang menawan dan disegani.
Pulau pribadi.
Gadis cerdas yang risau; pemuda politis yang penuh semangat.
Empat sahabat—Para Pembohong—dengan pertemanan yang kemudian menjadi destruktif.
Kecelakaan. Rahasia.
Kebohongan demi kebohongan.
Cinta sejati.
Kebenaran.
Para Pembohong merupakan novel suspense modern karya E. Lockhart, finalis National Book Award dan penerima Printz Award. Bacalah.
Dan jika ada yang bertanya bagaimana akhir cerita ini, JANGAN BERITAHUKAN.
Pulau pribadi.
Gadis cerdas yang risau; pemuda politis yang penuh semangat.
Empat sahabat—Para Pembohong—dengan pertemanan yang kemudian menjadi destruktif.
Kecelakaan. Rahasia.
Kebohongan demi kebohongan.
Cinta sejati.
Kebenaran.
Para Pembohong merupakan novel suspense modern karya E. Lockhart, finalis National Book Award dan penerima Printz Award. Bacalah.
Dan jika ada yang bertanya bagaimana akhir cerita ini, JANGAN BERITAHUKAN.
![]() |
source: google |
“Berbaik hatilah lebih daripada yang perlu kaulakukan.”—halaman 139
Kilas Balik Cerita
Novel We Were Liars ini sempat ramai
diperbincangkan di dunia per-bookstagram-an beberapa waktu lalu. Banyak respon
bagus dan tidak bagus yang bermunculan di goodreads dan bookstagram. Namun,
komentar yang paling sering kutemukan adalah komentar terkait dengan endingnya
yang “katanya” super-duper plot twist. Apalagi blurb novelnya juga ikut menyiratkan
bahwa adanya plot twist yang menarik di dalam novel ini. Sangat menarik
perhatian para pecinta novel bukan?
Setelah beberapa waktu memasukkan novel We Were
Liars ke dalam book wishlistku, akhirnya aku punya kesempatan untuk membaca
novel ini di iPusnas. Ah, akhirnya bisa baca novel yang sedang fenomenal serta
mendapat predikat Goodreads Choice Winner 2014—ucapku saat memulai baca novel
ini. Ekspektasiku untuk novel ini terbilang cukup tinggi, karena aku
menunggu-nunggu rahasia besar apa yang terkuak di endingnya. Lalu, terbayar lunaskah
ekspektasi tinggiku?
![]() |
source: google |
“Memang. Pertanyaan pentingnya adalah: bagaimana caranya menjadi orang baik kalau aku tidak lagi percaya.”—halaman 38
Let me tell you the whole story of this book (dijamin
no spoiler). Novel We Were Liars mengisahkan tentang sebuah keluarga besar kaya
raya—keluarga Sinclair—yang memiliki pulau pribadi untuk dipakai keluarga
tersebut setiap liburan musim panas. Keluarga besar ini di mata netizen sebagai
“family goals,” karena selalu terlihat sempurna dari sudut pandang dunia luar. Keluarga
ini juga sangat disegani oleh masyarakat sekitarnya, karena pembawaan diri dan
nama besar sang kepala keluarga. Penulis menggunakan sudut pandang salah seorang
cucu dari kepala keluarga tersebut. Di antara para cucu keluarga tersebut, ada
tiga yang berusia dalam rentang remaja. Ketiga cucu tersebut membuat perkumpulan
“geng” tersendiri. Hingga persahabatan, kebersamaan, cinta, dan kebohongan-kebohongan
merebak di dalamnya. And the story goes on….
Review
![]() |
source: google |
Alur
Alur yang digunakan oleh penulis merupakan alur
campuran. Di awal cerita, eksekusi alurnya sangatsangatsangat bagus. Aku sangat
menyukai setiap untaian kata yang ditulis oleh penulis. Tapi, lama-kelamaan,
aku mulai nggak “srek” dengan alurnya yang terkesan monoton. I don’t know why,
di bagian awal cerita, alurnya tereksekusi dengan sangat baik, tapi di
pertengahan hingga akhir…. Hmm, I don’t think it was a good plot? Meski agak
terasa membosankan sejak pertengahan cerita, aku tetap membacanya hingga akhir.
Kesan “misteri plot twist” yang dibuat oleh penulis di blurbnya-lah yang
membuatku terus melahap habis novel ini hingga halaman terakhir.
“Kau paham, Cady? Diam adalah lapisan pelindung rasa sakit.”—halaman 47
Tokoh dan Karakter
Tokoh utamanya adalah si cucu perempuan yang bernama
Cadence. Menurutku, Cadence ini agak plin-plan dan naif banget sih. Gimana ya, penggambaran
karakternya tuh bikin geregetan, me be like “yaelah ni cucu satu yak?!?!?!”. But,
you will know the reason why at the end of story.
Kami percaya waktu akan menyembuhkan segalanya—halaman 58
Sedangkan untuk tokoh-tokoh pendukungnya dari
keluarga tersebut bisa dibilang dideskripsikan dengan sangat baik dan bisa
di-relate dengan real life. “Keluarga sempurna”-nya tuh mashoook banget.
![]() |
source: google |
Konflik
Well, cukup dua kata mungkin? Terlalu monoton.
“… Cobalah berpikir sebelum kau mengeluh tentang hal-hal yang orang lain bakal bersyukur saat mendapatkannya.”—halaman 173
—ternyata belum cukup bung, masih ingin berkomentar
saya hahaha.
Jujur, aku susah banget untuk dapat feel “dooooorr!”
dari konflik yang ada di cerita ini. Intinya, seperti kurang bisa “in to” ke dalam
ceritanya sih. Walaupun beberapa kalimat yang ditulis oleh penulis di novel ini
cukup banyak yang menohok terkait kehidupan sebuah keluarga, tetap aja kurang
joss gitu. Rasa-rasanya konflik yang dibangun masih kurang matang dan terkesan
setengah-setengah. Padahal tema yang berusaha diangkat oleh penulis di novel
ini sudah bagus. Hanya saja penulis seperti kehilangan arah untuk memberi
penekanan konflik di cerita ini.
![]() |
source: google |
Latar
Berhubung mereka benar-benar menjadi “keluarga”
saat di pulau pribadi keluarga Sinclair, maka setting yang digunakan mostly
berada di pulau pribadi keluarga mereka. Deskripsi latar pulau pribadinya keren
sih, mudah untuk dibayangkan oleh pembaca.
“Bukankah lebih baik jika kita jadi orang yang santai dan penuh damai?”—halaman 140
Sudut Pandang
Seperti yang sudah kusebut sebelumnya, sudut
pandang yang digunakan di dalam novel ini merupakan sudut pandang pertama dari salah
satu cucu perempuan kepala keluarga Sinclair. Penggunaan sudut pandang pertama ini
juga yang membuatku menjadi geregetan dengan si tokoh utama.
Tata Bahasa
Novel We Were Liars yang kubaca adalah versi
terjemahan Indonesianya. Bahasa terjemahannya oke banget dan enak banget untuk
dibacanya. Khas Bahasa terjemahan tetapi nggak bikin jenuh. Salah satu motivasiku
untuk tetap menyelesaikan novel ini ialah bahasa terjemahannya yang apik banget.
Terkait salah ketik, masih ada sih, sedikit. Sedikit,
lho, hehe.
“Jangan menerima keburukan yang bisa kauubah.”—halaman 140
Ending
Hmm, gimana ya? Kasih tau nggak ya? Hehehe.
Yah, bagiku, endingnya biasa aja sih…. Aku sendiri termasuk
golongan pembaca yang kurang puas dengan plot twist yang “katanya” akan mencengangkan
di bagian endingnya. Aku kira akan disuguhkan dengan plot twist yang benar-benar
mengagetkan dan tidak tertebak, ternyata ketebak banget ☹
nggak
tau sih, ini akunya yang terlalu jago tebak-tebakan /plak/ atau memang ending
ceritanya yang tidak spesial.
“Aku mengekspresikan perasaanku, Johnny. Itulah intinya menjadi manusia yang hidup dan bernapas. Benar, kan?”—halaman 117
Overall
Jujur sih, agak kecewa dengan novel ini. I don’t really
like this book but still worth to read. Mungkin memang ini soal selera aja kali
ya, dan aku kurang cocok dengan novel ini. Kupikir, masih banyak sekali hal-hal
yang ada di novel ini yang masih bisa digali di akhir-akhir ceritanya.
“Menurutku, kutipan inspiratif bisa membantu kita melewati masa sulit.”—halaman 139
Padahal bahasa novelnya—khususnya terjemahan
Indonesianya—mudah banget untuk dibaca dan dipahami. Meski alurnya tidak
seindah yang diperlihatkan di awal *uhuk*, novel ini tetap memberikan
nilai-nilai yang bisa diambil oleh pembaca, khususnya tentang keluarga. Selain itu, terdapat banyak quotation yang bisa menohok hati.
“Berbaik hatilah lebih daripada yang perlu kaulakukan, Cady, dan segalanya akan baik-baik saja.”—halaman 285
By the way, aku suka banget dengan cover edisi Indonesianya,
cukup eye-catching dan tone warnanya nyaman untuk dilihat. Nah, aku memberikan 3
bintang untuk We Were Liars!★★★
Comments
Post a Comment